Selasa, 25 Juni 2013

asuransi syari'ah


ASURANSI SYARI’AH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Aplikasi lembaga keuangan syari’ah
Disusun Oleh :
Ulfi Roya Rohmatika (2102100018)
Dosen Pengampu :
Amin Wahyudi

JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI MUAMALAH (SM.A)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
2012/2013




PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Kita sebagai manusia tak seorangpun mengetahui tentang apa yang akan terjadi di masa datang secara sempurna walaupun menggunakan berbagai alat analisis. Hal ini disebabkan karena di masa datang penuh dengan ketidakpastian. Jadi wajar jika terjadinya sesuatu di masa datang hanya dapat direkayasa semata. Resiko di masa datang dapat terjadi terhadap kehidupan seseorang misalnya kematian, sakit atau dipecat dari pekerjaan. Dalam bisnis yang dihadapi dapat berupa resiko kebakaran, kerusakan atau kehilangan. Setiap resiko yang akan dihadapi harus ditanggulangi, sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Maka diperlukan perusahaan yang mau menanggung resiko tersebut yaitu perusahaan asuransi. Di bidang bisnis inilah asuransi semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan terhadap barang-barang perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan kesesuaian praktik asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya kajian terhadap praktik perekonomian dalam perspektif hukum Islam, asuransi mulai diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan syariah. Oleh karena itu, disini akan dikaji lebih mendalam tentang  Asuransi Syariah.

B.    Rumusan Masalah
1.     Pengertian asuransi syari’ah?
2.     Dasar hukum asuransi syari’ah?
3.     Macam-macam asuransi syari’ah?
4.     Asas-asas asuransi syari’ah?
5.     Ciri-ciri asuransi syari’ah?
6.     Pandangan ulama’ kontemporer tentang asuransi syari’ah?
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Asuransi Syari’ah
Dalam bahasa Belanda, kata asuransi disebut asurantie, yang terdiri dari asal kata “assaradeur” yang berarti penanggungan dan “geasureede” yang berarti tanggungan, kemudian dalam bahasa Prancis disebut “assurance” yang berarti menanggung suatu suatu yang pasti terjadi. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “insurance” yang berarti menanggung suatu yang mungkin atau tidak mungkin terjadi dan “assurance” yang berarti menanggung suatu yang pasti terjadi.[1]
Adapun menurut UU No. 2 Tahun 1992 tentang perasuransian: asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara kedua belah pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikat diri pada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian tertanggung karena kerugian, kerusakan dan kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa, asuransi adalah salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.[2]
Sedangkan pengertian asuransi syari’ah atu yang dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhumun adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’ yaitu memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari’ah.[3]
B.    Dasar Hukum Asuransi Syar’ah
C.    Macam-macam Asuransi Syari’ah
Semakin maju suatu negara semakin banyak macam asuransi. Hal ini terjadi karena pada negara yang telah maju banyak aktivitas yang menanggung resiko, dan agar aktivitas ini berhasil maka diperlukan adanya perlindungan asuransi. Oleh karena itu, di Indonesia dikenal berbagai macam asuransi, diantaranya adalah:
1.     Asuransi dwi guna.
2.     Asuransi jiwa.
3.     Asuransi kebakaran.
4.     Asuransi atas bahaya yang menimpa anggota tubuh.
5.     Asuransi terhadap pertanggungan sipil.[4]
D.   Asas-asas Asuransi Syari’ah
Prosedur asuransi syari’ah untuk menjamin nasabah dari kekhawatiran yang timbul akibat ancaman marabahaya yang menghadang manusia berlandaskan pada sejumlah asas sebagai berikut:
1.     1. Asas keimanan
Asas ini terimplementasikan dalam bentuk keimanan kepada Allah serta qadha’ dan qadar-Nya. Karena keimanan akan membuat seorang mukmin tenang dari marabahaya. Sehingga ia pun selalu berusaha untuk selalu membekali diri dengan ketaqwaan dan dzikir kepada Allah SWT, sebab ini merupakan jalan solutif untuk membuang ketakutan dan kekhawatiran didalam diri.[5] Sebagaimana dalam QS. Ar-Ra’d: 28.
Artinya: “Orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Inagatlah, hanya dengan menginngat Allah-lah hati menjadi tentram (QS. Al-Ra’d: 28)”
2.     Asas solidaritas dengan prinsip ukhuwwah (persaudaraan)
Asas ini terimplementasi dalam perilaku islami seorang muslim dalam hal nilai dan etika islam, diantaranya adalah sikap tolong-menolong, setia kawan, solider dan berempati dengan orang lain. Perilaku ini akan membuat seorang merasa aman dari ketakutan akan musibah-musibah dunia, sebab ia yakin bahwa suadara seiman akan berempati dengannya dalam meringankan musibah tersebut.[6] Sebagaimana dalam QS. Al-Maidah: 2.
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa (QS. Al-Maidah: 2) ”
3.     Asas bakti sosial secara institusional
Asas ini terimplementasi dalam bentuk pembentukan organisasi amal dan yayasan sosial non profit yang menggalang solidaritas dan membantu orang-orang yang sedang ditimpa musibah.[7]
4.     Asas investasi dan menabung untuk cadangan bencana
Asas ini bertujuan untuk memotivasi seorang muslim untuk berlaku hemat dalam menggunakan uang serta menabung surplus pendapatan dan menginvestasikan agar dapat dimanfaatkan sewaktu terjadi musibah.[8]
E.    Ciri-ciri asuransi syari’ah
Menurut Hosen dan Hasan asuransi syari’ah mempunyai ciri-ciri, antara lain:
1.     Asuransi syari’ah menggunakan akad tolong-menolong bukan akad jual beli.
2.     Dana yang terkumpul dari peserta asuransi akan tetap menjadi milik peserta asuransi bukan menjadi milik perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan asuransi hanya berperan sebagai pengelola dana bukan penentu investasi.
3.     Pembayaran klaim peserta menggunakan dana kebijakan (tabarru’) bukan dana milik perusahaan asuransi.
4.     Pada asuransi syari’ah terdapat dewan pengawas syari’ah (DPS) sebagai pengawas kegiatan operasional asuransi agar tidak menyimpang dari nilai-nilai syari’ah.[9]

F.    Pendapat Ulama’ Kontemporer Tentang Asuransi
Dalam masalah asuransi para ulama’ berbeda pendapat, diantaranya adalah:
1.     Kelompok ulama’ fiqh yang mengharamkan asuransi, dengan alasan:
a.     Asuransi sama dengan judi, karena tertanggung mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya judi.
b.     Asuransi mengandung ketidakjelasan dan ketidakpastian, karena tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang akan dibayarkan tidak jelas.
c.     Asuransi mengandung unsur riba, karena tertanggung akan memperoleh sejumlah uang yang lebih besar dari pada premi yang dibayarkan.
d.     Mengandung unsur eksploitasi, karena tertanggung jika tidak dapat membayar preminya, uangnya bisa hilang atau dikurangi dari jumlah uang premi yang telah dibayarkan.[10]
2.     Kelompok yang membolehkan asuransi, dengan alasan:
a.     Tidak ada Nash al-Quran dan al-Hadist yang melarang asuransi.
b.     Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak
c.     Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak.
d.      Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab uang premi yang terkumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan.
e.     asuransi termasuk akad mudharabah antara pemegang polis dan perusahaan asuransi.
f.      asuransi termasuk syirkah ta’awuniah, yaitu usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong-menolong.[11]
3.     Kelompok yang membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang bersifat semata-mata komersial.
4.      Kelompok yang memberikan status hukum subhat kepada asuransi, dengan alasan bahwa tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkan dan menghalalkannya, sementara dalam asuransi terdapat keuntungan dan kerugian pada pihak-pihak yang terlibat.[12]



















KESIMULAN
1.     Sedangkan pengertian asuransi syari’ah atu yang dikenal dengan ta’min, takaful, atau tadhumun adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’ yaitu memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari’ah.
2.      
3.     macam asuransi, diantaranya adalah: asuransi dwi guna, Asuransi jiwa, asuransi kebakaran, asuransi atas bahaya yang menimpa anggota tubuh, asuransi terhadap pertanggungan sipil.
4.     Asas-asas asuransi syari’ah: Asas keimanan, asas solidaritas dengan prinsip ukhuwwah (persaudaraan), asas bakti sosial secara institusional, danAsas investasi dan menabung untuk cadangan bencana.
5.     Ciri-ciri asuransi syari’ah:
a.     Asuransi syari’ah menggunakan akad tolong-menolong bukan akad jual beli.
b.     Dana yang terkumpul dari peserta asuransi akan tetap menjadi milik peserta asuransi bukan menjadi milik perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan asuransi hanya berperan sebagai pengelola dana bukan penentu investasi.
c.     Pembayaran klaim peserta menggunakan dana kebijakan (tabarru’) bukan dana milik perusahaan asuransi.
d.     Pada asuransi syari’ah terdapat dewan pengawas syari’ah (DPS) sebagai pengawas kegiatan operasional asuransi agar tidak menyimpang dari nilai-nilai syari’ah
6.     Pendapat ulama’ kontemporer tentang asuransi: kelompok ulama’ fiqh yang mengharamkan asuransi, kedua, kelompok yang membolehkan asuransi, ketiga, kelompok yang membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan yang bersifat komersial, keempat, kelompok yang memberikan status hukum subhat terhadap asuransi. 









DAFTAR PUSTAKA
 Huda, Nurul dan Heykal, Mohammad, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, Jakarta: Kencana Penanda Media, 2010

Aziz, Abdul, Menejemen Investasi Syari’ah, Bandung: Alfabeta, 2010

Ghazaly, Abdul Rahman, dkk, Fiqih Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010

 Alma, Buchari Alma, Priansa, Donni Juni, Menejemen Bisnis Syari’ah, Bandung: Alfabeta, 2009
Syhatah, Husai Husain, Asuransi Dalam Perspektif Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006



[1] Nurul Huda dan Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Kencana Penanda Media, 2010),151.
[2] Abdul Aziz, Menejemen Investasi Syari’ah, (Bandung: Alfabeta, 2010), 190.
            [3] Ibid, 190.
            [4] Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 236-237.
            [5] Husai Husain Syhatah, Asuransi Dalam Perspektif Syari’ah,            (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), 52-53.
            [6] Ibid., 54-55.
            [7] Ibid., 57.
            [8] Ibid., 58.
            [9] Buchari Alma, Donni Juni Priansa, Menejemen Bisnis Syari’ah, (Bandung: Alfabeta, 2009), 34.
            [10] Abdullah Rahman, Fiqh, 238.
            [11] Ibid, 239.
            [12] Ibid, 240.

wadi'ah


PENDAHULUAN

Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung, sekaligus sebagai indicator kesehatan bank terkait. Hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam infestasi yang produktif dan menguntungkan.
Dewasa ini, banyak bank Islam di luar negeri yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam kombinasi ini, dewan direksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan  persentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam suatu periode tertentu.















PEMBAHASAN

A. Definisi Wadi’ah
Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah yad Dhamanah. Pada awalnya, wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-amanah ‘tangan amanah’, yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah ‘tangan penanggung.’ Akad Wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.[1]
1.   Titipan Wadi’ah yad Amanah
Secara umum Wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi’) yang mempunyai barang/asset kepada pihak penyimpan (mustawda’) yang diberi amanah/kepercayaan, baik individu maupun badan hokum, tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan, dan dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki.
Barang/asset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa uang, barang, dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya. Dalam konteks ini, pada dasarnya pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee) adalah yad al-amanah ‘tangan amanah’ yang berarti bahwa ia tidak diharuskan bertanggung jawab jika sewaktu dalam penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan pada barang/asset titipan, selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang/asset titipan. Biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan.
Dengan prinsip ini, pihak penyimpan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan barang/asset yang dititipkan, melainkan hanya menjaganya. Selain itu, barang/aset yang dititipkan tidak boleh dicampuradukkan dengan barang/asset  lain, melainkan harus dipisahkan untuk masing-masing barang/asset penitip. Karena menggunakan prinsip yad al-amanah, akad titipan seperti ini biasa disebut wadi’ah yad amanah.
2.   Titipan Wadi’ah yad Dhamanah
Dari prinsip yad al-amanah ‘tangan amanah’ kemudian berkembang prinsip yadh-dhamanah ‘tangan penanggung’ yang berarti bahwa pihak penyimpan bertanggung jawab atas segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang barang/asset titipan.
Hal ini berarti bahwa pihak penyimpan atau custosian adalah trustee yang sekaligus guarantor ‘penjamin’ keamanan barang/asset yang dititipkan. Ini nuga berarti bahwa pihak penyimpan telah mendapatkan izin dari pihak penitip untuk mempergunakan barang/asset yang dititipkan tersebut untuk aktivitas perekonomian tertentu, dengan catatan bahwa pihak penyimpan akan mengembalikan barang/asset yang dititipkan secara utuh pada saat penyimpan menghendaki. Hal ini sesuai dengan anjuran dalam Islam agar asset selalu diusahakan untuk tujuan produktif (tidak idle atau didiamkan saja).
Dengan prinsip ini, penyimpan boleh mencampur asset penitip dengan asset penyimpan atau asset penitip yang lain, dan kemudian digunakan untuk tujuan produktif mencari keuntungan. Pihak  penyimpan berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan asset titipan dan bertanggung jawab penuh atas risiko kerugian yang mungkin timbul. Selain itu, penyimpan diperbolehkan juga, atas kehendak sendiri, memberikan bonus kepada pemilik asset tanpa akad perjanjian yang mengikat sebelumnya. Dengan menggunakan prinsip yadh dhamanah, akad titipan seperti ini biasa disebut wadi’ah yad Dhamanah.
B. Rukun dan Syarat Dalam Wadi’ah
Rukun dari akad titipan Wadi’ah (yad Amanah maupun yad Dhamanah) yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal berikut.
1)  Pelaku akad, yaitu penitip (mudi’/muwaddi’) dan penyimpan/penerima titipan (muda’/mustawda’)
2)  Objek akad, yaitu barang yang dititipkan; dan
3)  Shighah, yaitu ijab dan qobul.[2]
Sementara itu, syarat Wadi’ah yang harus dipenuhi adalah syarat bonus sebagai berikut:
1)  Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) penyimpan; dan
2)  Bonus tidak disyaratkan sebelumnya.[3]
Prinsip Wadi’ah yad Dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam dunia perbankan Islam dalam bentuk produk-produk pendanaannya, yaitu:
1)  Giro (current account) Wadi’ah
2)  Tabungan (savings account) Wadi’ah
Beberapa ketentuan Wadi’ah Yad Dhamanah, antara lain:
1)  Penyimpan memiliki hak untuk menginvestasikan asset yang dititipkan;
2)  Penitip memiliki hak untuk mengetahui bagaimana asetnya diinvestasikan;
3)  Penyimpan menjamin hanya nilai pokok jika modal berkurang karena merugi/terdepresi;
4)  Setiap keuntungan yang diperoleh penyimpan dapat dibagikan sebagai hibah atau hadiah (bonus). Hal itu berarti bahwa penyimpan (bank) tidak memiliki kewajiban mengikat untuk membagikan keuntungan yang diperolehnya; dan
5)  Penitip tidak memiliki hak suara.

C. Mekanisme Wadi’ah
a.   Giro Wadi’ah
Giro wadi’ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan nasabah dalam bentuk rekening giro (current account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya. Karakteristik giro wadi’ah ini mirip dengan giro pada bank konvensional, ketika kepada nasabah penyimpan diberi garansi untuk dapat menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti cek, bilyet giro, kartu ATM, atau dengan menggunakan sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan tanpa biaya. Bank boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek atau untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana ini untuk pembiayaan bagi hasil karena sifatnya yang jangka pendek. Keuntungan yang diperoleh bank dari penggunaan dana ini menjadi milik bank. Demikian juga, kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bank sepenuhnya. Bank diperbolehkan untuk memberikan insentif berupa bonus kepada nasabah, selama hal ini tidak disyaratkan sebelumnya. Besarnya bonus juga tidak ditetapkan di muka.[4]
Beberapa fasilitas giro wadi’ah yang disediakan bank untuk nasabah, antara lain:
1)  Buku cek;
2)  Bilyet giro;
3)  Kartu ATM’
4)  Fasilitas pembayaran;
5)  Traveller’s cheques;
6)  Wesel bank;
7)  Wesel penukaran;
8)  Kliring; dan
9)  Lainnya.
Dalam aplikasinya ada giro wadi’ah yang memberikan bonus dan ada giro wadi’ah yang tidak memberikan bonus. Pada kasus pertama, giro wadi;ah memberikan bonus karena bank menggunakan dana simpanan giro ini untuk tujuan produktif dan menghasilkan keuntungan, sehingga bank dapat memberikan bonus kepada nasabah deposan. Pada kasus kedua, giro wadi’ah tidak memberikan bonus karena bank hanya menggunakan dana simpanan giro ini untuk menyeimbangkan kebutuhan likuiditas bank dan untuk transaksi jangka pendek atas tanggung jawab bank yang tidak menghasilkan keuntungan riil. Bank tidak menggunakan dana ini untuk tujuan produktif mencari keuntungan karena memandang bahwa giro wadi’ah adalah kepercayaan, yaitu dana yang dititipkan kepada bank dimaksudkan untuk diproteksi dan diamankan, tidak ubtuk diusahakan.
Skema giro wadi’ah seperti skema simpanan wadi’ah yad dhamanah, pihak penitip adalah nasabah deposan, pihak penyimpan adalah bank, dan barang/asset yang dititipkan adalah uang.
Simpanan giro (current account) di bank syariah tidak selalu menggunakan prinsip wadi’ah yad dhamanah, tetapi secara konsep dapat juga menggunakan prinsip wadi’ah yad amanah dan prinsip qardh.
Simpanan giro dapat menggunakan prinsip wadi’ah yad amanah karena pada dasarnya giro dapat dianggap sebagai suatu kepercayaan dari nasabah kepada bank untuk menjaga dan mengamankan asset/dananya. Dengan prinsip ini nasabah deposan tidak menerima imbalan atau bonus apa pun dari bank karena asset/dana yang dititipkan tidak akan dimanfaatkan untuk tujuan apa pun, termasuk untuk kegiatan produktif. Sebaliknya, bank boleh membebankan biaya administrasi penitipan.
Selain itu, simpanan giro juga dapat menggunakan prinsip qardh ketika bank dianggap sebagai penerima pinjaman tanpa bunga dari nasabah deposan. Bank dapat memanfaatkan dana pinjaman dari nasabah deposan untuk tujuan apa saja, termasuk untuk kegiatan produktif mencari keuntungan. Sementara itu, nasabah deposan dijamin akan memperoleh kembali dananya secara penuh, sewaktu-waktu nasabah ingin menarik dananya. Bank boleh juga memberikan bonus kepada nasabah deposan, selama hal ini tidak disyaratkan di awal perjanjian. Simpanan giro seperti ini diterapkan di perbankan Islam di Iran.
b.   Tabungan Wadi’ah
Tabungan wadi’ah adalah produk pendanaan bank syariah berupa simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening tabungan (savings account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaiannya, seperti giro wadi’ah, tetapi tidak sefleksibel giro wadi’ah, karena nasabah tidak dapat menarik dananya dengan cek. Karakteristik tabungan wadi’ah ini juga mirip dengan tabungan pada bank konvensional ketika nasabah penyimpan diberi garansi untuk dapat menarik dananya sewaktu-waktu dengan menggunakan berbagai fasilitas yang disediakan bank, seperti kartu ATM, dan sebagainya tanpa biaya. Seperti halnya pada giro wadi’ah, bank juga boleh menggunakan dana nasabah yang terhimpun untuk tujuan mencari keuntungan dalam kegiatan yang berjangka pendek atau untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank, selama dana tersebut tidak ditarik.





            [1] Askarya, Akad dan Produk Syari’ah (Jakarta: Rajawali Press, 2011). 42.
            [2]http://www.pandan.net/index.php.view.article&catid.Ahotnews&id=65%3Awdps&format.html&option.com_content&Itemid=61.  Diakse jum’at, 19 April 2013. 11:30 WIB.           
            [3] http://karyagen-jar.blogspot.com/2012/06/makalah-wadiah.html. Diakse jum’at, 19 April 2013. 11:30 WIB.           
 [4] Askarya, Akad. 116