Rabu, 19 Juni 2013

multi level marketing




BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar belakang

Ditengah kelesuan dan keterpurukan ekonomi nasional, datanglah sebuah sistem bisnis yang banyak menjanjikan dan keberhasilan serta menawarkan kekayaan dalam waktu singkat. Sistem ini kemudian dikenal dengan istilah Multi Level Marketing (MLM) atau Networking Marketing. Banyak orang yang bergabung kedalamnya, baik dari kalangan orang-orang awam ataupun dari kalangan penuntut ilmu, bahkan dari berita yang sampai kepada kami ada sebagian pondok pesantren yang mengembangkan sistem ini untuk pengembangan usaha pesantren. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah bisnis dengan model semacam ini diperbolehkan secara syar’i ataukah tidak,  Sebuah permasalahan yang tidak mudah untuk menjawabnya, karena ini adalah masalah aktual yang belum pernah disebutkan secara langsung dalam litelatur para ulama’ kita. Namun alhadulillah Allah telah menyempurnakan syari’at islam ini untuk bisa menjawab semua permasalahan yang akan terjadi sampai besok hari kiamat dengan berbagai nash dan kaedah-kaedah umum tentang masalah bisnis dan ekonomi. Maka dari sinilah pemakalh akan mencoba merumuskan beberap rumusan  supaya dapat memahami lebih lanjut lagi.
2.      Rumusan masalah
1.      Bagaimana sebenarnya  multilevel marketing yang terjadi di kalangan masyarakat tersebut?
2.      Dan bagaimankah akad-akad yang ada pada multilevel marketing tersebut ?
3.      Dan apakah multilevel marketing tesebut didalam hukum syari’at di perbolehkan?







BAB II
PEMBAHASAN


1.      Pengertian
 Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya,
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) – ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor -; kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member  tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) – sebagaimana istilah mereka – yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member /distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.

2.      Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing – sebagai bisnis pemasaran --- tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan – istilah lainnya komisi kepemimpinan -. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak ,seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, - istilah lainnya sponsor, promotor – namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi : (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara – melalui perekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

3.      Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar

Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1.    Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatain fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2.    Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO , adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Dan adapun hal-hal yang  bisa membuat sebuah transaksi bisnis menjadi haram adalah :
1.      Mengandung riba
2.      Ghoror
3.      Mengandung penipuan
4.      Perjudian atau adu nasib
5.      Kedholiman
6.      Yang dijual adalah barang haram

4.      Hukum Dua Akad dan Makelar dalam Praktek MLM

Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1.      Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member – apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain – disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelas termasuk dalam kategori hadits : shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2.      Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk – meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian – dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
3.      Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.











BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN


Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya – apakah halal ataukah  haram – maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.
 Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram. Namun, jika ada MLM yang pdouknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan.

PERBANKAN SYARIAH



A. PENDAHULUAN
Perbankan Islam sebagai bank yang bebas bunga dalam menjual produk-produknya mendapatkan pendaptanan berupa bagi hasil, margin, biaya administrasi,d an fee. Fee Based Income (FBI) merupakan pendapatan bank dari sektor jasa, FBI ini merupakan salah satu sektor pendapatan yang saat ini dikembangkan oleh perbankan syariah.
Melalui metode rekayasa keuangan Islami (Islamic Financial Engineering Method) ternyata dapat menghasilkan berbagai akad yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah. Sharia Charge Card dan KPR Syariah merupakan contoh dari praktik rekayasa terhadap akad-akad yang telah dikenal dalam Islam.
B. PRODUK JASA PERBANKAN SYARIAH
Adapun produk perbankan syariah di bidang jasa didasarkan pada akad-akad yang sudah dikenal dalam Islam, yaitu; Hiwalah (Hawalah), Wakalah, Kafalah, Rahn, dan Sharf. Pada tulisan ini, permbahasan tentang produk jasa perbankan syariah lebih bersifat praktek dalam operasional bank syariah.

1. Hiwalah (Hawalah)
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya atau dalah istilah bahasa Arab adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaihi (orang yang berkewajiban membayar utang).
Sedangkan apabila dikaitkan dengan Hukum Lembaga Pembiayaan, Hiwalah dikenal dengan istilah factoring atau anjak piutang yaitu sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri. Dengan demikian dalam prakteknya akad Hiwalah dalam perbankan syariah terdiri dari tiga pihak, yaitu:
  • Bank sebagai faktor (muhal ‘alaihi)
  • Nasabah selaku klien (muhil)
  • Customer sebagai pihak yang memiliki utang.

Implementasi Akad Hiwalah dalam produk-produk perbankan syariah dapat berupa:
  1. Factoring atau anjak piutang, yaitu nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut, kemudian bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
  2. Post-dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
  3. Bill Discounting, secara prinsip bill discounting serupa dengan Hiwalah. Hanya saja dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan permbahasan fee tidak didapati dalam kontrak Hiwalah.

Adapun manfaat atau keuntungan yang diperoleh dari mekanisme Hiwalah dalam perbankan syariah adalah sebagai berikut:
  • Memungkinkan penyelesaian utang dan piutang dengan cepat dan simultan.
  • Tersedianya talangan dana untuk dana hibah yang membutuhkan.
  • Dapat menjadi salah satu fee-based income/sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah.
  • Bagi pihak nasabah selaku klien dari bank akan mendapatkan instant cash sehingga dapat meningkatkan cash flow perusahaannya.

Hiwalah sebagai suatu cara untuk mendapatkan fresh money bagi pihak klien/nasabah tidak luput juga dari risiko, terutama dari pihak bank. Adapun risiko yang harus diwaspadai oleh pihak bank syariah dari sebuah kontrak Hiwalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban Hiwalah ke bank.
Skema Hiwalah juga dapat diimplementasikan dalam praktek jual beli yang dilakukan oleh nasabah. Dalam hal ini nasabah melakukan transaksi dengan penjual atau suplier, kemudian suplier melakukan penagihan utang nasabah kepada bank dan dibayar oleh bank. Seletelah itu, bank yang akan menagih kepada nasabah tersebut. Bank akan mendapatkan fee dari jasa yang diberikan kepada nasabah.
http://www.ekonomikeadilan.com/wp-content/uploads/2011/12/Skema-Hiwalah.bmp
2. Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dengan pengertian lain, Kafalah berarti perjanjian seseorang untuk menanggung tangungjawab atau beban yang dimiliki oleh orang lain. Terdapat tiga macam Kafalah yang dapat dipraktekkan dalam perbankan syariah yaitu:
  • Kafalah bi nafs, yaitu jaminan dari diri si peminjam (personal guatantee).
  • Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang dalam bentuk uang muka (advance payment) atau jaminan pembayaran (payment bond).
  • Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun waktu tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan hal ini dapat dipraktekkan dalam hal jaminan pelaksanaan atas suatu proyek (performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).

Implementasi dari akad Kafalah dalam perbankan syariah adalah dalam bentuk bank garansi (bank guarantee). Artinya bank bertindak sebagai pihak penjamin (garantor) jika seseorang tidak menunaikan kewajibannya, misalnya, apabila seseorang yang berutang tidak menjalankan kewajibannya, bank bertanggungjawab untuk melaksanakan atau mengambil alih kewajiban tersebut.
http://www.ekonomikeadilan.com/wp-content/uploads/2011/12/Kafalah.bmp

2. Wakalah
Wakalah secara bahasa berarti pemberian kuasa, sedangkan menurut istilah Wakalah adalah suatu perjanjian di mana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu wewenang (kekuasaan) kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan suatu urusan, dan orang lain tersebut menerima dan melaksanakannya atas nama pemberik kuasa.
Implementasi akad Wakalah dalam perbankan syariah dapat dalam bentuk penerbiatan Letter of Credit (L/C) atau penerusan permintaan akan barang dalam negeri dari bank di luar negeri (L/C ekspor). Wakalah juga dapat diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain, serta jasa inkaso.
Atas dasar prinsip Wakalah, bank membuka L/C atas permintaan nasabah dengan memintan nasabah untuk menyetorkan dana yang cukup (100%) dari besarnya L/C yang dibuka. Setoran dana tersebut disimpan oleh bank dengan prinsip wadiah dan bank memungut ujr (fee atau komisi) sebagai kontra prestasi.
Bentuk lain dari implementasi wakalah dalam perbankan syariah adalah bank sebagai wakil dari nasabah dan investor, kemudian bank melakukan transaksi-transaksi yang telah disepakati dalam kontrak oleh kedua belah pihak. Setelah semua transaksi tersebut telah direalisasikan maka bank mendapatkan pembayaran fee atas jasa perwakilannya.
http://www.ekonomikeadilan.com/wp-content/uploads/2011/12/Wakalah1.bmp


3. Rahn (Gadai)
Rahn atau gadai menurut syariah adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan dan yang memungkinkan ditarik kembali. Rahn juga dapat diartikan sebagai aktivitas menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, atausecara sederhana dapat disimpulkan bahwa Rahn adalah semacam jaminan utang (gadai).
Dalam implementasi akad Rahn, terdapat dua hal yang dipraktekkan oleh perbankan syariah yaitu; Rahn sebagai produk pelengkap dan sebagai produk tersendiri. Sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. Sedangkan Rahn sebagai produk tersendiri adalah rahan sebagai produk gadai atau merupakan alternatif dari pegadaian konvensional. Perbedaannya adalah dalam gadai konvensional nasabah dipungut biaya dalam bentuk bunga yang dapat berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan gadai syariah nasabah hanya dipungut biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.
Adapun manfaat langsung yang didapat oleh bank dari akad Rahn adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan aset tersebut. Jika penahanan aset berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya disesuaikan dengan biaya asuransi yang berlaku secara umum.
Risiko yang mungkin terdapat pada Rahn apabila diterapakan sebagai produk perbankan yaitu; risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi) dan risiko penurunan nilai atau rusaknya aset yang ditahan.
Dalam perbankan syariah, implementasi rahn terdapat empat hal yaitu; nasabah sebagai rahin, barang jaminan (marhun), Bank sebagai murtahin, dan pembiayaan (marhun bih). Praktek rahn pada bank syariah sama halnya seperti skema rahn yang terjadi di pegadaian syariah, yaitu nasabah menyerahkan jaminan kepada bank, realisasi akad, pemberian pinjaman pembiayaan dan pengembalian pinjaman yang sudah termasuk keuntungan bank.
http://www.ekonomikeadilan.com/wp-content/uploads/2011/12/Rahn.bmp

4. Sharf (Foreign Exchange-FOREX)
Secara harfiah Sharf diartikan sebagai penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan atau tansaksi jual beli. Adapun menurut istilah Sharf adlaah perjanjain jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Sharf dapat dianalogikan sebagi perdangangan valuta asing seperti halnya pertukaran antara emas dan perak. Harga atas pertukaran itu dapat ditentukan bersasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli.
Pendapat lain mengatakan bahwa Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, di mana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya.
emas dan perak sebagai mata uang tidak dapat ditukarkan dengan sejenisnya (Rupiah to Rupiah atau Dollar to Dollar) kecuali sama jumlahnya. Bila berbeda jenisnya, Rupiah to Dollar, maka dapat ditukarkan (exchange) berdasarkan dengan market rate dengan catatan harus naqdan atau spot.
Aktivitas perdangan valuta asing harus terbebas dari unsur riba, maisir, dan gharar. Dalam pelaksanaannya haruslah memperhatikan beberapa batasan sebagai berikut:
  • Pertukaran harus dilaksanakan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
  • Motif pertukaran adalah motif komersial.
  • Harus dihindari pembelian bersyarat, artinya, jika A setuju membeli dari B hari ini, maka B harus membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa yang akan datang.
  • Harus dihindari pembelian dan penjualan yang melebihi jumlah yang dimiliki (oversold).

Akad Sharf dipraktikkan oleh bank syariah dalam produk jasa berupa tukar-menukar mata uang asing dengan mendasarkan pada kurs jual dan kurs beli suatu mata uang. Pihak bank akan mendapatkan imbalan berupa selisih angaran kurs jual dan kurs beli yang ada, ditambah dengan biaya-biaya adminstrasi yang besarnya ditentukan sesuai dengan kebijakan bank yang berasangkutan.

C. MEKANISME PENGEMBANGAN PRODUK JASA PERBANKAN SYARIAH
Produk perbankan dari sektor jasa adalah produk yang dapat dikembangkan secara variatif seiring dengan kebutuhan hidup masyarakat akan jasa perbankan yang semakin meningkat. Begitu juga dalam praktik perbankan syariah, yang mana pada dasarnya produk di bidang jasa ini sangat mungkin untuk dikembangkan secara lebih variatif.
Pengembangan produk jasa dalam perbankan syariah merupakan sesuatu yang harus dilakukan sebagai alternatif sumber pendapatan bank selain dari transaksi bagi hasil mudharabah dan margin pada murabahan. Pengembangan tersebut mendapat dukungan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) selalu pemegang otoritas perbankan di Indonesia. Sebagai contoh prodik inovatif adalah dikeluarkannya sharia charge card oleh Bank International Indonesia (BII) yang dapat dijadikan sebagai alternative pengganti kartu kredit.
Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka bank akan menerbitkan suatu produk jasa baru. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal 38 PBI No. 6/24/PBI/2004 yang menyebutkan bahwa bank wajib mengajukan permohonan persetujuan kepada Bank Indonesia atas produk dan jasa baru yang akan dikeluarkan dengan melampirkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional atas produk dan jasa baru tersebut.
Adapun produk dan jasa baru yang harus dimintakan persetujuan kepada BI adalah sebagai berikut:
  • Produk dan jasa baru yang belum ada izin usaha bank diberikan oleh BI.
  • Produk dan jasa baru yang sudah ada sebelumnya di bank syariah lain namun, terdapat perbedaan karakteristik terhadap produk dan jasa yang sudah ada.
Pengajuan produk dan jasa oleh Bank kepada BI harus disertai dengan dokumen sebagai berikut:
  1. Foto kopi surat kepada DSN tentang permohonan fatwa dan produk jasa baru;
  2. Opini syariah dari DSN tentang produk jasa baru tersebut;
  3. Penjelasan tentang rancangan produk jasa baru yang menguraikan karakteristik, mekanisme, skema transaksi, proses akuntansi, pihak yang berwenang, infrastruktur dan analisis risiko produk jasa tersebut;
  4. Draft atau pokok-pokok ketentuan dalam akad atau kontrak keuangan.

Kemudian bank harus melakukan presentasi kepada BI dalam rangka mendapatkan izin atas produk dan jasa baru yang dikeluarkan. Setelah mendapatkan izin dari BI sebagai pemengang otoritas perbankan, maka produk tersebut dapat dilempar kepada masyarkat.

D. PENUTUP
Perkembangan dunia perbankan yang sangat pesat mengharuskan setiap bank untuk melakukan inovasi baik dalam menerbitkan produk keuangan maupun memberikan jasa atau pelayanan keuangan kepada masyarakat. Bank syariah sebagai bank yang belum cukup lama bersaing dalam dunia perbankan internasional maupun nasional mendapatkan tantangan yang sangat besar, di antaranya; penyempurnaan organisasi dan manajemen, peningkatan SDM, perningkatan Sistem Informasi Manajemen (SIM), penggunaan tekhnologi muktahir, dan peningkatan produktivitas secara total dan terpadu.
Tantangan terbesar datang dari perbankan konvensional yang telah lebih dahulu dan memiliki banyak variasi produk jasa dan pelayanan keuangan kepada para nasabahnya. Di tengah-tengah perkembangan bank konvensional, bank syariah harus dapat memberikan sebuah produk jasa dan pelayanan yang memiliki daya tarik yang lebih besar, lebih dari sekedar daya tarik yang bersifat emosional.
Salah satu langkah dalam upaya “mengejar” bank konvensional dalam hal variasi produk-produk jasa, pihak akademisi dan praktisi ekonomi syariah dalam hal ini bidang perbankan melakukan upaya rekayasa keuangan Islami (Islamic Financial Engineering Method). Rekayasan bertujuan untuk mencari produk-produk perbankan syariah (terutama produk jasa) yang sesuai dengan prinsip syariah. Rekayasa dilakukan dengan cara membandingkan antara akad-akad syariah dengan produk jasa perbankan pada saat ini.
Pertanyaan, apakah rekayasa keuangan hanya dapat dilakukan dengan memformulasikan akad-akad syariah menjadi sebuah produk yang baru? Ataukah cukup melakukan rekonstruksi produk-produk keuangan konvensional agar sesuai dengan syariah? Tentu kedua pertanyaan tersebut merupakan sebuah keputusan yang harus diambil secepatnya, sebelum dunia perbankan syariah tertinggal lebih jauh lagi dari persaingan dengan perbankan konvensional di tingkat nasional maupun internasional.

E. DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur, 2007, Perbankan Syariah di Indonedia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Antonio, Muhammad Syafi’i., 2001, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik, Cetakan Pertama, Gema Insani Press, Jakarta.
Muhammad., 2002, Manajemen Bank Syari’ah, (UPP) AMPYKPN, Yogyakarta.
Sinugan, Muchdarsyah., 1994, Strategi Manajemen Bank, Cetakan Pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta.